ABDUL SOMAD, SS.,M.Pd. [1]
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Pada mulanya, Pan Islamisme
memang tak lepas dari figur dan kepemimpinan khalifah. Ada kaitan erat antara
ide Pan Islamisme dan jabatan yang disandang oleh Sultan Turki. Sejak abad
ke-16, Sultan-Sultan Turki telah mengangkat diri sebagai khalifah serta
pelindung Makkah-Madinah. Sejak abad ke-18 secara pelan-pelan Sultan Utsmani
mulai memanfaatkan ide khalifah ini semacam “Paus Islam“. Demikianlah sampai
awal abad ke-20, secara turun temurun kepala negara Turki selalu menggunakan
titel sultan dan khalifah. Sebagai Sultan, ia memiliki kekuasaan duniawi untuk
mengatur negara, dan sebagai khalifah mempunyai wewenang rohani untuk mengurusi
masalah agama (Suminto, 1996:79).
Di Indonesia, nama besar
Sultan Turki sebagai khalifah ini sudah lama diketahui selama berabad-abad
sejak masa kejayaan pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.[2] Di akhir abad ke-20, nama khalifah
tidak saja bernilai prestise di mata muslim Indonesia. Hal ini dimungkinkan
karena Sultan Turki menempatkan perwakilannya di Batavia. Mereka memberi kesan
pada pribumi muslim di Hindia Belanda bahwa mereka masih mempunyai pelindung
kepentingan mereka yang berbeda dengan pemerintah kolonial. Di Batavia,
pendukung gerakan Pan Islamisme Turki ini adalah masyarakat muslim keturunan
Arab. Mereka diperjuangkan guna mendapat persamaan status sejajar dengan bangsa
Eropa, atau lebih tepatnya untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan status dalam
peradilan hak dan kewajiban diantara orang Eropa, Timur Asing, dan pribumi.
Jika tujuan ini sudah dicapai, maka menurut pendapat para pengikut Pan
Islamisme. Orang-orang Islam tidak sukar lagi untuk mendapatkan kedudukan yang
lebih tinggi daripada orang Eropa dan kemudian memojokkan mereka sama sekali.
Lalu, Turki pun berjanji akan membuat orang Islam di Hindia pada suatu waktu
melepaskan diri dari tindakan Belanda (Algadri, 1996:124).
Akan tetapi, Perang Dunia I meletus pada tahun 1914. Peperangan ini
mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi kaum muslim di Indonesia. Turki yang
menjadi sekutu Jerman kalah dalam peperangan itu. Meski ia telah mengeluarkan
pelbagai seruan jihad bagi setiap muslim ke seluruh penjuru Dunia Islam. Dampak
dari kekalahan ini, terjadi reformasi politik di dalam negeri Turki. Setelah
golongan nasionalis memegang tampuk pimpinan di Turki pada awal tahun 1920-an,
negeri ini lebih memusatkan perhatiannya pada kepentingan nasionalnya. Politik
luar negeri Turki yang selama ini berorientasi pada ide Pan Islamisme juga
berubah arah; lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada keperluan
internasional. Puncaknya, ditandai
dengan dilengserkannya Sultan Abdul Majid II dari Turki sebagai khalifah pada
tanggal 3 Maret 1924 (Nasution, 1975:151). Pelengseran Sultan-Khalifah Abdul
Majid II memang sangat mengejutkan. Oleh karena kekuasaan khalifah yang
dijabatnya tidak saja diakui oleh bangsa Turki saja, tetapi seluruh
bangsa-bangsa muslim di dunia, termasuk oleh kaum muslimin di Indonesia (Noer,
1996:242). Sekalipun ia berada di Turki, namun sama sekali bukanlah hak dan
monopoli negara itu saja, melainkan merupakan hak dan milik seluruh ummat Islam
(Rais, 1985:254-255). Singkatnya, jabatan khalifah adalah milik ummat Islam
sedunia. Ia merupakan simbol supremasi politik muslim, malah Istambul, ibu kota
Turki, oleh Barat dianggap sebagai simbol Dunia Timur umumnya (Suminto,
1996:83).
Bagaimana sikap ummat Islam Indonesia dalam persoalan persoalan khilafah,
itulah masalahnya. Untuk itu di
Indonesia, organisasi terkemuka Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang bekerjasama
dengan elemen pergerakan Islam lainnya, turut merespon undangan Kongres
Khilafah di Mesir. Mereka membicarakannya dalam Kongres Al-Islam Hindia III di
Surabaya, 4-5 Oktober 1924. Kongres berkala elemen pergerakan Islam itu
membuahkan keputusan bahwa mereka akan terlibat dalam pergerakan khilafah
dengan cara mengirim utusan mereka ke Kairo (Hindia Baroe, 22 Januari
1925). Tokoh paling berpengaruh di Sarekat Islam, Tjokroaminoto, menyatakan
bahwa selain dua kota suci Makkah-Madinah, khalifah adalah milik ummat Islam
sedunia. Dan hak ini pada umumnya tidak diketahui selama beratus-ratus tahun
oleh bangsa Indonesia. Padahal keberadaan khalifah itu bukan semata-mata untuk
ummat Islam di Jazirah Arab, tetapi juga bagi ummat Islam Indonesia. Ditegaskan
pula oleh Tjokroaminoto bahwa khalifah merupakan hak bersama sesama muslim dan
bukan dominasi bangsa tertentu (Hindia Baroe, 9 Februari 1926). Dari
dasar pemikiran inilah akhirnya Kongres Al-Islam Hindia Timur khususnya dan
ummat Islam Indonesia umumnya merasa perlu untuk melibatkan diri dalam
pergerakan khilafah yang bertujuan menegakkan kekhilafahan yang baru.
Dengan meneliti fakta yang sebenarnya dari
pandangan-pandangan pemikiran pergerakan Islam Indonesia dalam persoalan
khilafah khususnya dan Pan Islamisme umumnya, tema ini punya arti yang sangat
penting, karena akan menawarkan bukti keuniversalan Islam dalam aspek hubungan
sosial politik keagamaan. Apalagi data-data yang tersedia cukup bagi penulisan sebuah tulisan. Oleh karena
itu, penulis mencoba mengungkapkan masalah ini dalam bentuk tulisan yang
berjudul “Pemikiran dan Pergerakan Pan Islamisme di Indonesia Pada Awal
Ke-20”.
Kerangka Pemikiran Teoretis
Dalam tulisan ini, Pan Islamisme adalah konsep yang paling
utama untuk menjelaskan fenomena sejarah. Secara etimologi, “Pan” sendiri
berasal dari bahasa Yunani yang berarti: seluruh, (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989:640); sedangkan Islamisme berasal dari kata “Islam” dan “Isme”.
Islam ialah agama monoteisme (tauhid) yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad
(571-632 M.), dan isme berarti faham; dengan demikian Islamisme berarti faham
tentang keislaman.
Sementara itu, pengertian Pan Islamisme
secara terminologis, penulis meminjam pengertian Ensiklopedi Islam terbitan Departemen Agama
Republik Indonesia. Pada halaman 79 dan 80, dicatat bahwa Pan Islamisme
memiliki tiga pengertian. Pertama,
penentangan secara umum terhadap kolonialisme Barat dengan berbasis Islam dan
ummat Islam di setiap daerah koloni. Kedua, alat yang digunakan Sultan Turki
Utsmani Abdul Hamid II (berkuasa, 1876-1909) untuk mempertahankan dan
mengembangkan pengaruh kekuasaan Turki Utsmani atas Dunia Islam. Ketiga, usaha
membangkitkan kembali sistem kekhalifahan pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah
pada tahun 1924.
Gagasan dan tindakan baru adalah pangkal
terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial disini diartikan sebagai proses
dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sedangkan sistem
sosial sendiri didefinisikan sebagai suatu kumpulan unit yang berbeda secara
fungsional dan terikat dengan kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Anggota atau unit-unit sistem sosial ini bisa berupa
individu, kelompok formal, atau organisasi modern. Sementara itu, perubahan
sosial dalam hal ini biasa terjadi melalui tiga tahapan. Pertama, tahap
invensi. Pada tahap ini berlangsung proses dimana ide-ide baru diciptakan dan
dikembangkan. Kedua, tahap difusi, dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke
dalam sistem sosial. Ketiga, tahap konsekwensi. Pada tahap ini
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat
pengadopsian atau penolakan inovasi (Roger dan Schoemaker, 1981:16-31).
Dalam konteks pendekatan “Middle Range
Analysis” di atas, penulis berasumsi bahwa Pan Islamisme merupakan gagasan
dan tindakan baru di Indonesia. Sebagai suatu gagasan baru, tentu saja ia
mengundang dinamika masyarakat muslim yang bermuara pada terjadinya perubahan
sosial. Dalam dunia pergerakan modern Islam Indonesia pada awal abad ke-20, ide
Pan Islamisme ini mula-mula di perkenalkan oleh Sarekat Islam. Pengembangannya
dilakukan lewat Kongres Al-Islam Hindia Timur. Dalam Kongres ini Sarekat Islam
menyeru agar faksi Modern-Tradisional dalam masyarakat Islam Indonesia bisa
bersatu dalam memajukan ummat Islam dengan landasan Pan Islamisme. Awalnya,
upaya ini masih belum diterima mengingat gagasan Pan Islamisme yang disarankan
Sarekat Islam belum begitu kongkrit. Namun, setelah bergulir persoalan khilafah
di Dunia Islam, Sarekat Islam memperoleh momen sekaligus isu yang tepat.
Berbeda dengan isu-isu soal fiqih yang seringkali berbeda, persoalan khilafah
adalah memiliki kejelasan hukum yang tidak diperdebatkan. Jadi pada fase pergerakan
khilafah hampir tidak ada penolakan dalam ummat Islam di Indonesia ketika itu.
Perubahan dapat terlihat dari antusiasme kalangan tradisional Islam dalam
mengikuti Kongres Al-Islam Luar Biasa yang diselenggarakan di Surabaya pada
tahun 1924. Bila sebelumnya hubungan antar faksi di ummat Islam renggang, saat
itu mereka terlihat akur. Krisis mulai terjadi setelah Kongres Khilafah di
Mesir ditunda, sementara Kaum wahhabi mulai berkuasa di Tanah Hijaz. Dalam
kasus ini, ternyata perubahan yang terjadi hanya bersifat kontak dan selektif
saja. Menurut Rogers dan Schoemaker, perubahan ini terjadi karena anggota
sistem sosial terbuka pada pengaruh dari luar dan menerima atau menolak ide
baru itu berdasarkan kebutuhan. Kebutuhan itu sendiri tak lain adalah pemenuhan
usulan-usulan keagamaan yang sesuai dengan keyakinan mereka.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Usaha-Usaha Sarekat Islam dalam Gerakan Pan Islamisme
Dalam konteks anatomi organisasi
pergerakan Islam Indonesia, Sarekat Islam adalah salah satu organisasi politik Indonesia
abad XX yang paling menonjol (Van Niel, 1984:2). Malah boleh dikata bahwa maju
mundurnya posisi ummat Islam di Indonesia ditentukan oleh maju mundurnya
Sarekat Islam (Noer, 1996:114). Hal ini
dimungkinkan karena organisasi ini pada perkembangannya dianggap sebagai
satu-satunya “partai politik” bagi orang
Islam dari semua golongan, mengingat dari sekian jumlah organisasi Islam hanya
berbasis pada bidang garapan sosial dan pendidikan.
Ada peristiwa penting yang perlu
diketahui tentang tanda-tanda adanya pengaruh Turki bagi Sarekat Islam dalam
kaitannya dengan gerakan Pan Islamisme. Peristiwa itu adalah dikibarkannya
bendera Turki oleh peserta Kongres Nasional Sarekat Islam ke-3 di Bandung tahun
1916. Insiden ini tentunya memberikan kecurigaan yang besar Pemerintah kolonial
Belanda mengingat Turki waktu itu adalah pemimpin gerakan Pan Islamisme dan
tengah terlibat perang Dunia I melawan Inggris dan sekutu-sekutunya. Salah satu
usaha Turki pada waktu itu adalah menyebarkan seruan dan fatwa jihad yang
mengatasnamakan khalifah kepada segenap ummat Islam, tak terkecuali Indonesia,
yang dalam hal ini mereka sebut Jawa. Dalam pada itu pada masa awal perang
cukup banyak selebaran yang berisi seruan untuk menggalakkan jihad melawan
penguasa kolonial kafir di negeri Islam (Suminto, 1996:81-82). Berikut
kutipannya:
Wahai saudara
seiman. Perhatikanlah betapa negara lain menjajah dunia Islam. India yang luas
dan berpenduduk seratus juta orang Islam, dijajah oleh sekelompok kecil
musuh Tuhan, orang-orang kafir Inggeris.
Empat puluh juta muslimin Jawa di jajah oleh Belanda. Maroko, Aljazair,
Tunisia, Mesir dan Sudan, menderita
dibawah cengkeraman musuh Tuhan dan RasulNya. Juga Siberia, Turkestan, Khiwa,
Bukhara, Kaukasus, Kureim Kazan, Ardahan, Kuzestan, berada di bawah tekanan
penjajah musuh iman. Persia juga akan dipecah belah. Bahkan tahta khilafah pun,
oleh musuh-musuh Tuhan selalu ditentang dengan segala macam cara (Suminto,
1996:219).
Sifat pembelaan terhadap Islam pada diri anggota-anggota Sarekat Islam
nampak pada pendirian Komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Pada tanggal 9 dan
11 Januari 1918 muncul sebuah tulisan dalam surat kabar di Surakarta Djawi
Hisworo yang ditulis Martodharsono dan Djojodikoro, yang memfitnah Nabi
Muhammad sebagai seorang pemabuk dan pemadat. Sentimen anti Islam dikalangan
beberapa orang Jawa begitu kuat sehingga Comitee voor Javaansch Nationalisme
(Komite bagi Nasionalisme Jawa, yang telah didirikan pada tahun 1914)
mengeluarkan pamflet yang menekankan bahaya fanatisme agama. Meskipun
orang-orang ini juga mencela gaya artikel Djawi Hisworo tersebut, namun
Islam seperti yang kini diajarkan oleh kaum pembaharu dianggap mereka sebagai
‘impor asing’ yang tidak disukai (Ricklefs, 1994:268). Kaum muslim di bawah komando para pemimpin Sarekat Islam
menjadi sangat marah dan pada bulan Februari mereka membentuk suatu komite yang
dinamakan Tentara Nabi Muhammad.
Dengan berpijaknya pemikiran tokoh-tokoh
Sarekat Islam di bawah kendali H.O.S. Tjokroaminoto
kepada Pan Islamisme, anggota-anggota Sarekat Islam pendukung Pan Islamisme,
terutama Haji Agus Salim dan Fahruddin,
berusaha memanfaatkan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Bekerjasama
dengan ketua Al-Irsyad, Ahmad Soorkati, diadakanlah Kongres Al-Islam yang
pertama di Cirebon pada tanggal 31 Oktober-2 November 1922.[3]
Kongres Al-Islam merupakan tindak lanjut dari keputusan kongres Nasional IV
Centraal Sarekat Islam di Surabaya tanggal 26 Oktober-2 November 1922. Bagi Sarekat Islam
kongres ini memiliki arti penting untuk mereposisi diri dikalangan massa
pergerakan setelah terpecah belah. Seperti dikatakan Salim, arti penting
kongres tersebut ialah satu usaha “mendorong persatoean segala golongan orang
Islam di Hindia dan ataoe orang Islam seloeroeh doenia dan bantoe-berbantoe,”
yang menurut Salim sama dengan Pan Islamisme (Siraishi, 1997 :326).
Kongres Al-Islam di Cirebon itu di pimpin
Haji Agus Salim. Selain Sarekat Islam dan Muhammadiyah, hadir pula
anggota-anggota Al-Irsyad. Sementara kalangan tradisi yang hadir dalam kongres
dipimpin oleh Kyai Haji Abdul Wahhab yang berasal dari sebuah lembaga
pendidikan Tasywirul Afkar di Surabaya dan Kyai Haji Asnawi, seorang ulama yang
terkenal di Kudus. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mencari isu pemersatu
ummat Islam Indonesia dan sebagai pengimbang terhadap pergerakan nasionalisme
sekuler. Kongres ini menyerukan kepada semua pihak untuk tetap menggalang
persatuan ummat dengan satu ikatan aqidah serta melancarkan Pan Islamisme dalam
menghadapi penjajah.
Dalam sebuah wawancara dengan
reporter surat kabar Ummul Quro yang terbit di Makkah, Tjokroaminoto
menjelaskan panjang lebar mengenai latar belakang dan tujuan penyelenggaraan
Kongres Al-Islam Hindia.
“Sebelum tahun 1914 di Tanah jawa tidak ada sesuatu
perhimpunan yang bekerja untuk agama, sehingga terdzohirlah perhimpunan SI dan
perhimpunan Muhammadiyah. Ini dua perhimpunan sudah berdiri dan sudah tersiar
cabang-cabangnya dalam kebanyakan dalam negeri-negeri Jawa. Kemudian lantas
berdiri beberapa perhimpunan yang lain-lain yang kesemuanya sama berusaha untuk
tujuan agama. Antara ini perhimpunan-perhimpunan tidak ada perhubungan yang
memperikatkan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi sebelum empat
tahun yang lalu [maksudnya tahun 1922, pen.] terasalah kepada akan kita
tujuannya ini perhimpunan-perhimpunan buat mempersatukan dan memperhubungkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Di situ lantas didirikan buat yang
pertama kali kongres umum yang diberi nama Kongres Al-Islam Hindia, dalam mana
dihadiri wakil-wakilnya sekalian perhimpunan-perhimpunan yang telah ada di
tanah Jawa dan disitu diperbincangkan beberapa perkara-perkara yang
penting-penting; antara lain ialah menguatkan ruh tolong menolong dan persatuan
sudah diserahkan oleh majlis dan diputuskannya (Zaman Baroe, 5 Mei 1926).
Dari pernyataan Tjokroaminoto di atas, Kongres Al-Islam kelihatannya
dipandang secara strategis sebagai sebuah wadah yang dapat digunakan untuk
menghimpun organisasi pergerakan Islam yang khsusunya berada di Pulau Jawa.
Secara taktis, pembentukannya ini berdasarkan pertimbangan guna mengurangi
ketegangan dan bahaya perselisihan yang muncul karena perbedaan khilafiyah.
Selain itu juga mengusahakan tercapainya persatuan aliran dalam Islam dengan
cara mengumpulkan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Islam dalam
sebuah pertemuan dan kerjasama dalam berbagai persoalan agama Islam.
Membahas pengaruh Pan Islamisme
dalam gerakan Islam Indonesia, tak lengkap jika tidak menganalisi gagasan
Tjokroaminoto. Pemikiran Tjokroaminoto sesungguhnya mencakup multidimensi. Ia
tidak saja paham Islam, tetapi juga ideologi-ideologi lain semisal kapitalisme
dan komunisme. Dalam konteks Islam, pemikirannya yang berlandaskan al-Qur’an
meliputi persatuan ummat, kemerdekaan ummat sifat pemerintahan, penghidupan
ekonomi, keadaan dan derajat manusia, dan kemerdekaan yang sejati.
Bagi Tjokroaminoto, persatuan
ummat bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana
persatuan ummat ini pada akhirnya akan didasari dan diwarnai oleh nilai-nilai
Islam dan merupakan bagian dari Pan Islamisme. Pemikiran Tjokroaminoto tentang
kemerdekaan ummat ini berarti adanya kebebasan yang seluas-luasnya bagi bangsa
Indonesia untuk bergerak dalam bidang politik dan ekonomi. Kebebasan ini
mencakup tiga hal, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Jika
demikian halnya, maka pemerintahan berdaulat yang dimiliki rakyat harus
demokratis. Inti dari demokrasi itu ialah adanya musyawarah dimana suara rakyat
diakui sepenuhnya melalui majelis permusyawaratan rakyat yang dalam istilah
Islam disebut “majelis syura“ Sebagai sub-sistem pemerintahan, majelis
ini dapat membicarakan dan memutuskan perkara-perkara yang berkenaan dengan
keperluan umum atau rakyat. Parlemen yang dimaksud Tjokroaminoto ini, dalam
hukum kenegaraan dan pemerintahan Islam disebut Ahlul Halli wal Aqdi.
Pada kira-kira bulan September
1922, Tjokroaminoto mulai jelas berbicara tenatang Pan Islamisme.
“Anehnya“, Tjokroaminoto merujuk pada
penulis Barat dan penulis muslim Pakistan. Barangkali, ini terjadi lantaran
kendala bahasa yang ada pada diri Tjokroaminoto. Ia mampu berbahasa Inggris dan
Belanda, sebaliknya rujukan yang dipakai para ulama yang berkiblat ke Timur
Tengah rata-rata berbahasa Arab. Sedangkan
para penulis muslim India, karena di jajah Inggris, seringkali
menggunakan bahasa itu dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Pan Islamismenya.
Menurut Ridwan, Pemikiran Pan Islamisme
Tjokroaminoto, yang terutama ia tuangkan dalam bukunya yang sangat terkenal
berjudul Islam dan Sosialisme, sangat diilhami dan dipengaruhi oleh S.
Nushir Kidwani lewat karyanya “Islam and Socialism”. Selain
itu,Tjokroaminoto juga dipengaruhi oleh Sayid Amir Ali dalam “The Spirit of
Islam”, Kwoja Kamaluddin dalam “The Ideal Prophet” serta Muhammad
Ali dalam kitabnya “The Prophet” (Ridwan,1999:83).
Tjokroaminoto menulis bahwa dirinya
“ sebagai seorang Pan Islamis yang penuh rasa pan Islamisme dalam darah
dagingnya“ (Tjokroaminoto, 1965:99).
“Maksud pergerakan Pan Islamisme pada umumnya ialah
menghilangkan anggapan yang sesat tentang agama Islam dan memajukan peri
kehidupan menurut ajaran agama Islam serta memajukan amal salih dan kebaktian
kepada Allah siantara rakyat Indonesia….Maka oleh sebab itu, kaum Sarekat Islam
suka berusaha bersama-sama dengan pergerakan rakyat seluruh dunia yang
mendekatkan maksud itu untuk kepentingan penduduk seluruh dunia, dengan
mengingat syarat-syarat yang diadakan oleh Islam“ (Tjokroaminoto, 1965:101).
Tjokroaminoto
jelas-jelas menginginkan meginginkan satu persatuan dan kesatuan ummat Islam
sedunia (Tjokroaminoto, 1965:70).
Apabila persatuan dan kesatuan ummat Islam sedunia itu bisa tercapai, maka
tidak hanya martabat dan derajat manusia yang beragama Islam dapat dipulihkan
kembali, tetapi bangsa asing manapun yang masih menjajah ummat Islam dimana
merekapun berada, maka harus disadarkan untuk berfikir apakah penjajagan itu
sesuai dengan perikemanusiaan dan peradaban ummat manusia. Visi Tjokroaminoto
merupakan antitesis terhadap kultur dan struktur kolonialisme. Tjokroamninoto
tidak suka eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan
pengusaha-pengusaha asing terhadap bangsa Indonesia, sebagaimana ia tidak
menyukai adanya dominasi politik oleh pemerintah kolonial terhadap wilayah dan
kedaulatan bangsa Indonesia (Amin, 1995:51).
Menurut Tjokroaminoto, Islam telah menggariskan
persaudaraan yang benar-benar harus dilakukan diantara ummat Islam di negara
manapun juga tanpa memandang suku bangsa, ras dan kelas ekonomi. Ia menyatakan
bahwa persaudaraan dalam Islam dapat melenyapkan permusuhan dan melahirkan
persahabatan. Sejarah dan ajaran Islam sering melukiskan bahwa orang asing
sekalipun bisa menjadi sahabat karib yang dapat melebihi ikatan perhubungan
saudara yang berasal dari satu daerah dan satu silsilah. Secara historis, hal
semacam ini pernah dipraktekkan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Mereka
menganggap diri mereka satu. Tidak ada perbedaan derajat dan kelas. Persamaan
yang adil seperti itu telah menyebabkan segenap ummat Islam menjelma bagai
sebuah badan dengan satu nyawa
(Tjokroaminoto,1963:28-30).
Tjokroaminoto menyebutkan secara eksplisit
wawasannya mengenai paham universalisme yang terkandung dalam gerakan Pan
Islamisme. Menurutnya keuniversalitasan Islam mendorong ruang gerak kehidupan
seorang muslim tidak dibatasi oleh batas-batas negara, warna kulit dan
perbedaan menyangkut tanah atau benua sekalipun, tetapi berdasar kepada ikatan
agama Islam.
Pada mulanya Tjokroaminoto, belum secara
tegas menggambarkan bagaimana bentuk “pemerintahan universal” yang dimaksud.
Namun, sebagaimana dipaparkan pada sub bab selanjutnya, rupanya ia tertarik
pada gagasan pembentukan kembali kekhalifahan.
Sebagai seorang Pan Islamis, Tjokroaminoto memandang bahwa Islam
merupakan agama lintas bangsa dan ras. Menurutnya, Islam telah menentukan
persaudaraan yang benar-benar harus dilaksanakan diantara pemeluknya di negara manapun tanpa
mengenal warna kulit dan status sosial. Jika mereka dapat memulihkan kembali
kekuasaan dan kekuatannya, ummat Islam akan dapat memerintah segenap dunia.
Berangkat dari pemahamannya ini akan menyatakan bahwa kebangsaan orang Islam
tidak terbatas oleh batas-batas kenegaraan, perbedaan warna kulit, bahasa,
tanah air dan benua. Dalam buku Islam dan Sosialisme, ia menulis:
Di tempat mana saja orang Islam
bertinggal, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, didalam
negeri yang baru itu ia masih disebut menjadi satu bahagian daripada rakyat
Islam. Ditempat manapun juga, orang Islam itu berkediaman, di tempat itulah ia
harus mencintai dan bekerjasama untuk keperluan negari itu dan rakyatnya.
Nasionalisme yang semacam itulah nasionalisme Islam, yang menjadi dasar yang
kuat bagi sosialisme yang tersiar di seluruh muka bumi (Tjokroaminoto,
1963:90).
Orang-orang Islam pada zamannya dahulu, bukan saja semuanya
menganggap dirinya sama, tetapi mereka semua menganggap menjadi satu. Diantara
orang-orang Islam, tidak ada sesuatu perbedaan yang bagaimanapun juga macamnya.
Dalam pergaulan masyarakat diantara mereka tidak ada perbedaan derajat, dan
tidak ada pula sebab-sebab yang dapat menimbulkan perbedaan kelas (Tjokroaminoto,
1965:30).
Persamaan
yang adil, menyebabkan segenap ummat Islam menjadi seperti satu badan, satu
nyawa. Mengutip hadits Nabi Tjokro menulis: “semua orang Islam itu adalah
seperti satu badan seseorang. Apabila
merasa sakit dikepalanya, maka seluruh anggota badannya merasa sakit juga dan
kalau matanya sakit, segenap badannya pun merasa sakit juga”. “Semua orang
Islam adalah seperti suatu bangunan, sebagian memperkuat bagian yang lainnya,
dengan cara yang demikian itu juga, yang satu memperkokoh yang lainnya”
(Tjokroaminoto, 1965:32). Kekuatan suci yang terkandung didalam seruan dan
anjuran tentang persamaan yang diajarkan oleh al-Qur’an menyebabkan Islam
menjadi satu keperluan untuk menimbulkan keselamatan, kesenangan dan
kenikmatan. Islam tidak menganjukan kepercayaan-kepercayaan, hak-hak yang baru,
tidak mempunyai pemerintah yang dikuasai gereja atau kekuasaan priester; Islam
memberikan buku undang-undang kepada rakyat, satu pokok peraturan negara kepada
pemerintahan, yang sifatnya tidak meninggikan derajat satu bangsa melebihi
tingginya daripada bangsa lain, tidak bersifat menyendiri-menyendiri dan tidak
bersifat mengejar keperluan sendiri, dan Islam menguatkan serta mengesahkan
firman-firman Tuhan yang setelah dinyatakan lebih dahulu, memerintahkan supya
ayat-ayat tersebut dipercayainya (Tjokroaminoto, 1965:34).
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemikiran Pan Islamisme di
Indonesia yang dicita-citakan Tjokroaminoto mirip dengan gaya dan perjuangan
Jamaluddin al-Afghani. Popularitasnya ditempatkan sejajar dengan para Pan
Islamis dunia Islam lainnya.
Reaksi Kaum Pergerakan Islam Indonesia Terhadap
Persoalan Khilafah
Gerakan Pan Islamisme yang di
lakukan kaum pergerakan Islam Indonesia muncul secara massal pada tahun 1924.
Sebagaimana disinggung pada bab pendahuluan, kaum muslim sedunia diramaikan
oleh persoalan khilafah yang mencuat setelah Turki menghilangkan jabatan
khalifah dalam konstitusinya. Ulama al-Azhar, Mesir, mengundang seluruh
perwakilan ummat Islam sedunia untuk membahas persoalan ini. Seruan ulama
Al-Azhar disampaikan ke seluruh Dunia Islam. Sedianya dalam bulan Maret 1925
Kongres Khilafah akan diselenggarakan. Akan tetapi, di Mesir sendiri terjadi suatu kemelut politik
yang amat hebat yang berakibat hilangnya dukungan pemerintah Mesir terhadap
rencana pelaksanaan Kongres Khilafah. Lantaran itu, maka kongres terpaksa
diundurkan ketahun 1926.
Di Indonesia, persoalan khilafah
ini dibahas dalam Kongres Al-Islam ke-3. Kongres A-Islam kali ini amat berbeda
dengan dua kongres sebelumnya. Kongres ini kembali diikuti oleh ulama berbagai
aliran, baik tradisional maupun modern. Kongres diselenggarakan pada 24-26
Desemeber 1924 di Surabaya. Tercatat bahwa peserta yang hadir berjumlah 68
utusan yang terdiri atas 9 Muhammadiyah, 29 Sarekat Islam, 4 al-Irsyad,
6 Sub Komite Khilafah daerah, 3 Persatuan Ummat Islam, dan selebihnya perhimpunan lokal yang
beraliran modernis seperti Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan,
Perserikatan Wataniyah, Ta’mirul Masajid, At-Ta’dibiyah (semuanya berasal dari
Surabaya) dan perhimpunan lain. Jumlah pesertanya, kurang lebih 1000 orang.
Mayoritas
ulama Sunni, begitu pula yang
bermazhab Syafe’i yang notabene diadopsi sebagian besar ulama tradisional di
Indonesia, sepakat berdasarkan ijma
mu’tabar (konsensus yang masyhur),
bahwa mendirikan khilafah Islam adalah fardhu
kifayah[4],
dengan alasan antara lain: (1) ijma’ sahabat, sehingga mereka mendahulukan
permusyawaratan tentang khalifah daripada urusan jenazah Rasulullah, yang
pengurusannya juga merupakan hal yang wajib; (2) tidak mungkin dapat
menyempurnakan kewajiban, seperti pembelaan agama, menjaga keamanan dan
sebagainya melainkan dengan adanya pemerintahan; (3) adanya ayat al-Qur’an dan
Hadis yang menyuruh ummat Islam untuk mentaati ulil amri (para pemimpin) dan adanya janji Allah swt, bahwa kaum
muslimin akan dijadikan khalifah, diantaranya dalam surat an-Nur ayat 55:
“Allah SWT telah menjanjikan kepada orang-orang mukmin dan orang-orang yang
beramal saleh diantara kamu bahwa mereka akan menjadi khalifah di muka bumi
sebagaimana orang-orang terdahulu telah menjadi khalifah, dan Allah akan
mengganti ketakutan mereka dengan keamanan” (Wadjdi, dalam Seminar Khilafah Islamiyyah, 2000:21).
Gelar khalifah[5],
dalam sejarah pemerintahan Islam, mula-mula diterima oleh Abu Bakar (berkuasa,
632-634). Waktu itu ia tidak memberi gelar kepada diri sendiri. Seorang sahabat
mengusulkan gelar Khalifatullah, atau
wakil Tuhan di bumi, tetapi ia menolaknya. Ia mengatakan bahwa dirinya bukan khalifatullah, melainkan khalifaturrasul. Artinya, ia tidak
menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fil ‘ardhi), melainkan pengganti kepemimpinan
Muhammad. Gelar khalifah ini juga digunakan oleh dua orang Khalifah Yang Empat
(Khulafa al-Rasyidin: Khalifah Yang Terpercaya karena mendapat
petunjuk), yaitu Utsman bin Affan (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661).
Berbeda dengan yang lainnya, khalifah kedua, Ummar bin Khattab (634-644) lebih
menyukai untuk menggelari dirinya sebagai Amirul
Mu’minin, pemimpin kaum beriman.
Rakyat
kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di
pelosok-pelosok yang jauh dipenjuru tanah air, melihat “Stambol” [Istambul,
kedudukan khalifah Utsmaniyah] masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja
semua orang mu’min, yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang
oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi yang masih dan tetap
[dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa
“sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk memberikan penghormatannya
kepada khalifah”. Kalau orang-orang seperti ini datang ke Makkah, mereka
“mempunyai kesan bahwa kekuasaan bukan Islam hanya akan mempunyai arti bila
menempatlkan wakilnya di Istambul (Noer, 1996:34-35).
Sebagai respon atas undangan Ulama Mesir yang
akan melaksanakan Kongres Islam Sedunia, kaum peregarakan Islam Indonesia
mengadakan sebuah pertemuan khusus di kota Surabaya pada tanggal 4-5 Oktober
1924.[6] Umumnya
pemimpin Islam Indonesia menyambut baik rencana pengangkatan khalifah di Mesir.
Agus Salim menjelaskan hanya Turki negeri
muslim yang merdeka. Ketika Turki terlibat dalam Perang Dunia II tidak
satupun pemimpin Islam negeri lain membantunya. Akibatnya, ketika Turki kalah perang,
satu persatu wilayah Turki jatuh ke pihak kolonialis Barat. Wilayah Turki
sekarang (maksudnya tahun 1924), hanya tinggal di sekitar kawasan Balkan
(tepatnya Asia Kecil), yang diperthankan mati-matian; karena itu Turki merasa
kecewa dan keberatan memikul beban anggaran khilafah yang tidak sedikit
(Haidar, 1994:55).
Atas dasar kesepakatan bersama, mereka
mengambil keputusan “Hendak membantu dengan segala kekuatan budi dan tenaganya
semua ikhtiar yang menuju maksud akan mengirimkan utusannya ummat Islam di
Hindia Timur, buat menghadiri kongres agama Islam yang akan diadakan di Kairo
guna membicarakan dan memutuskan perkara khilafah Islam” (Bendera Islam,
16 Oktober 1924). Lalu, untuk menindaklanjuti kesepakatan ini dibentuk sebuah
komite yang bernama “Komite Khilafah”.
Setelah
menukar pikiran dengan panjang lebar maka vergedaring memutuskan: wajib
mencampuri pergerakan (khilafah yang, pen.) akan mengadaklan kongres di
Kairo seperti yang tersebut di atas (yang akan diadakan dalam bulan Sya’ban
1343 atau bulan Maret 1925 dimuka ini), dengan seboleh-bolehnya berikhtiar
supaya dari negeri kita boleh dikirimkan barang 3 atau 4 orang yang dianggap
sebagai utusannya ummat Islam di Hindia Tiimur. Buat menyampaikan maksud ini
maka didalam vergedaring-vergedaring itu telah diangkat satu komite bernama "Komite
Khilafah” (Bandera Islam, 16 Oktober 1924).
Komite khilafah merupakan suatu panitia kerja yang didalamnya terhimpun aktivis pergerakan pembaharuan Islam dan tradisi yang sebelumnya sering bertikai. Penyatuan dua faksi pergerakan Islam Indonesia ini dimungkinkan karena semuanya mendukung pembentukan khilafah baru sebagaimana yang tergambar dalam sidang Kongres Al-Islam III di Surabaya. Komite ini dibentuk oleh anggota-anggota Kongres Al-Islam Hindia dan bertugas menetapkan mandat yang akan dibawa utusan serta mengumpulkan biaya perjalanan mereka.
Berikut ini susunan pengurus Komite Khilafah:
BESTUUR DAN LEDEN COMITE CHILAFAAT
Voerzitter :
Wondosoedirdjo
Vice :
Kijai Hadji Abdul Wahab
Secretaris : 1.
Abdul Muthalib Sangadji
2. Simoen Bd.
Penningmeester : Sech
Mohammad Aboed Alamoedi
Leden : 1. Said Idroes Almasjhoer
2. Kijai Hadji Mas Manoer
3. Hadji Hassan Gipo
4. Mansoer Jamani
5. Hadji Noorchasan
6. Hadji Abdullah Hakim
7. Hadji Abdulmannan
8. Hadji Brahim
9. Oerip
10. Raden Achmad
11. Hadji Machsoedi
12. Saleh bin Achmad
13. Oemar Hoobis
14. Hadji Djahri
(Bendera Islam, 30 Oktober 1924).
Pembentukan Komite Khilafah oleh Kongres Al-Islam
Hindia dibandingkan dengan usaha-usaha sebelumnya untuk menggalang persatuan
Islam dapat dikatakan sebagai perumusan kembali wawasan kolektif ummat dalam
kehidupan politik Islam. Wawasan politik Islam ini menjadi lebih kongkrit
setelah pers-pers Islam mulai meningkatkan propagandanya untuk menerangkan
pentingnya kedudukan khilafah bagi Islam dan ummat Islam. Dengan
mempropagandakan arti penting khilafah tersebut, ummat dirangsang untuk lebih
tegas menyatakan sikapnya . Sebagaiamana yang dikemukkan oleh para ulama Mesir,
dinyatakan bahwa kepetingan khilafah adalah menjunjung tinggi dan mengangkat
kekuasaan agama Islam beserta ummatnya, maupun mempersatukan mempersatukan dan
mengumpulkan tali-tali yang mengikat orang Islam bersama (Bendera Islam,
16 Oktober 1924).
Tim kerja komite Khilafah ini
melaksanakan kegiatan yang telah
ditentukan oleh Kongres Al-Islam luar Biasa di Surabaya, 25-27 Desember 1924,
yaitu : pertama, menetapkan utusan, kedua, menentukan mandat yang akan dibawa
dan ketiga, membuat keputusan-keputusan yang dianggap perlu untuk
perkara-perkara khilafah (Bendera Islam, 16 Oktober 1924).
Akan tetapi, tidak semua
kalangan mendukung rencana tersebut. Surat kabar Sedio Tomo yang
dipimpin Abdul Muis menanggapi lain. Menurutnya ummat Islam Indonesia tidak
perlu megirim delegasi ke Kairo. Soal Khilafah adalah soal agama.. Kebutuhan
kita sekarang soal ekonomi, bagaimana meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Dana keuangan untuk mengirimkan delegasi lebih baik digunakan untuk
membangun ekonomi rakyat bagi kesejahteraan mereka (Haidar, 1994:56).
Pertimbangan soal ekonomi ini juga sempat menjadi dikemukakan pada pertemuan
pendahuluan Kongres luar biasa. Salah seorang peserta, Hassan Ali Sur’ati mengatakan
bahwa kemajuan rakyat Mesir amat jauh berbeda dengan rakyat Indonesia tentang
hal apa saja. Oleh karena itu ia tidak setuju jika ummat Islam Indonesia
mengirimkan utusan ke Kairo, karena menurut pendapatnya bisa jadi utusan dari
mereka sebagai “lalat atau nyamuk saja”. Disamping tentunya alasan ongkos yang
besar, yang apabila dipergunakan untuk mendirikan madrasah akan lebih baik.
Sebagai alternatif, ia mengusulkan agar mengirimkan saja mosi ke Kairo atas
nama Kongres Al-Islam Hindia. Pendapat yang sama juga diajukan Komite Kongres
al-Islam Hindia Garut yang menambahkan bahwa cukupah mereka memberi mandat
kepada para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Kairo.
Namun, usul-usul itu ditentang. Mansur
Jamani mengatakan bahwa kemiskinan rakayat Hindia sangatlah relatif. Kalaulah
dikatakan mereka miskin, mengapa “saban malam bioskop dan jaarmarket
penuh”. Oleh karena itu alasan tersebut tidak bisa dipegang. Apalagi
kepentingan agama tidak bisa dibandingkan dengan harta. Agama lebih perlu
daripada harta kaum muslim. Oleh karena itu mengenai persoalan biaya haruslah
diperjuangkan dengan habis-habisan “sekalipun sampai jual mas dan dasinya kalau
perlu“. Sementara itu Fachrodin dari Muhammadiyah mengatakan:”Sekalipun
dianggap nyamuk, dan orang sana biar tahu rupanya nyamuk Hindia. Islam tidak
membeda-bedakan ummat dan kepandaian; anak Hindia tidak akan kalah dengan anak
Kairo dan lain-lain negeri terutama untuk mempersatukan fikiran buat mengadakan
khalifah” (Bandera Islam, 8 Februari 1925).
Secara aklamasi kongres mengambil
keputusan untuk melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dengan cara
mengirimkan tiga orang utusan yang harus dianggap sebagai wakilnya ummat Islam
Indonesia. Ketika itu merela berhasil memilih Raden Mas Soerjopranoto
(Komisaris Sarekat Islam), K.H. Fachroddin (Wakil Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah) dan Kyai Haji Abdul Wahhab (Perserikatan Ta’mirul Masajid).
Diputuskan pula bahwa mereka mendukung didirikannya sebuah majelis khilafah
yang berkuasa sesuai dengan hukum-hukum Islam. Khalifah (kepala Majelis) yang
nanti dipilih bertugas mengatur dan menjalankan pemerintahan bersama beberapa
orang pembantunya. Dan untuk memilih khalifah ini perlu diadakan musyawarah
yang hasilnya nanti dipublikasikan guna memperoleh pengakuan ummat Islam
sedunia (Hindia Baroe, 8 Februari 1925).
Bangsa
kita di Hindia dalam beratoes-ratoes tahun tak tahoe mementingkan khalifah,
maka kecewalah keislamannja. Sedikit tak ada persatoean, sedikit tak ada
kemoeliaan. Senantiasa rakjat Islam bangsa kita tertipoe oleh pelbagai
kekhalifahan yang tidak dengan hak khalifah sesoenggoehnja, jang tidak
mengambil poesing perkara keroesakan dan kemoendoeran Islam, tidak sedikitpoen
mengusahakan keselamatan dan kemajoean Islam (Hindia Baru, 15 Januari 1926).
Masalah-masalah penting ini merupakan hak
bersama sesama muslim, bukan dominasi bangsa tertentu. “Belum pernah
kejadian didalam riwayat yang mengadakan satu Kongres Islam Sedunia, hanya baru
satu kali ini. Oleh karena ini hal ada menjadi satu kewajiban ummat Islam, maka
utusan perlu sangat dikirim ke Kairo” (Hindia Baroe, 8 Februari 1925). Dalam
pada itu, Bandera Islam, yang merupakan surat kabar Sarekat Islam giat
menjelaskan kepada ummat perihal pengertian khilafah.
Chilafat dalam
Islam ertinja pimpinan di atas orang-orang Islam baik tentang perkara doenia maopoen tentang perkara Igama dan
tidak boleh dipersamakan dengan ke-Pausan dalam Igama Christen. Chilafat
bererti satoe keradjaan jang merdika dengan berkoeasa di atas tanah Arab dengan
mempoenjai kekoeatan jang tjoekoep besarnja oentoek memperlidoengi keselamatan
dan keamanan di tanah Arab dan mendjaga poesat Islam itoe terbebas daripada
segala bahaja dari dalam negeri dani dari loear negeri. Chalifah pada zaman
doeloe haroes memperlindoengi dan memberikan perbantoeannja, apabila diminta
oleh lain-lain keradjaan Islam (Bendera Islam, 27 Juli 1925).
Chilafat
itoe, hai saudarakoe, ialah pangkat kenabian dan Chalifah itoe mendjadi Wakil Rasoeloellah s.a. w. jang akan
meloeloeskan hokoem Sjari’atnja,jang akan membangoenkan Soennahnja san jang
mengoempoelkan kalimah orang orang Moeslimin jang mengoeasai akan pendesak,
jaitoe moesoeh-moesoeh , dan akan mengoesai akan jang keloear, jaitoe jang
termasoek golongan orang monafek dan zindik (Bendera islam, 22 Januari 1925).
Salah satu hasil keputusan Kongres Al-Islam Hindia di
Surabaya, 27 Desember 1924 adalah “Hendaklah berdiri satoe medjlis Chilafaat,
jang melakoekan kekwasaan dan kewadjiban chalifah dengan semata-mata menoeroet
dan mengingat hoekoem-hoekoem dan perintah-perintah Islam didalam Qoer’an dan
Hadits (Hindia Baroe, 8 Februari 1925).
Berikut di bawah ini keputusan Komite Khilafah Kongres
Al-Islam tentang persoalan Khilafah :
a.
Comite Chilafat menimbang haroeslah dalam doenia Islam diadakan satoe Medjlis Chilafat jang terpimpin oleh satoe
President, dan Presiden itoelah jang
diberi gelar Chalifah.
b. Adapoen
lid-lid dari Medjlis haroes terdiri dari wakil-wakil dari Oemat Islam di
masing-masing negeri dan keradjaan jang lamanja sopeaja ditentoekan didalam
reglementnja Medjlis Chilafat.
c. Kekoeasaan
Medjlis Chilafat terhadap Islam doenia, apakah haroes di beri kekoeasaan
mengatoer hal oeroesan Agama dan doenia dengan seloeas-loeasnja, ataukah hanja
diberi kekoeasaan boeat mengatoer hal oeroesan Agama sadja.
d. Presiden
Medjlis Chilafat itoe haroes terpilih oleh wakil-wakil dari oemat Islam jang
mendjadi lidnja Medjlis terseboet.
e. Tempat
kedoedoekan Chilafat terseboet haroeslah ada di keradjaan Islam jang merdeka,
jaitoe di Mekkah.
f. Biaja
Medjlis terseboet haroes terpikoel oleh oemat Islam ditiap-tiap negeri dan keradjaan, dengan menoeroet kekoatannja
masing-masing.
Seperti
tertera di atas, mengenai kedudukan khalifah, Kongres Al-Islam memandang bahwa
tempat yang paling tepat untuk dijadikan pusat pemerintahan khilafah adalah
Makkah, karena kota ini menjadi ajang pertemuan ummat Islam setiap tahunnya
dalam melaksanakan ibadah haji. Kelebihan kota ini diharapkan bukan saja
dimanfaatkan untuk menghormati kota suci dan mengagungkan agama Islam, tetapi
juga dimanfaatkan sebagai wahana konsolidasi ummat. Fachruddin
mengatakan bahwa kedudukan khalifah itu mesti di Makkah, sebab Makkah itu
“soatoe negerinja orang Islam sedoenia”. Sedangkan apabila khilafah itu
berkedudukan bukan di Makkah, misalnja di Turki atau di Mesir, ia menyangsikan
jika mereka akan menganggap kekhalifahan milik ummat. Ia menilai bahwa
bangsa-bangsa tersebut akan mementingkan keperluan bangsanya sendiri daripada
bangsa lain, sekalipun sesama umat Islam. Maka oleh karena itu, ia menegaskan
“Chalifah haroes tinggal bertempat di Makkah” (Bendera Islam, 30
Oktober, 1924). Tjokroaminoto, menyatakan bahwa selain dua
kota suci Makkah-Madinah, khalifah adalah milik ummat Islam sedunia. Dan hak
ini pada umumnya tidak diketahui selama beratus-ratus tahun oleh bangsa
Indonesia. Padahal keberadaan khalifah itu bukan semata-mata untuk ummat Islam
di Jazirah Arab, tetapi juga bagi ummat Islam Indonesia. Ditegaskan pula oleh
Tjokroaminoto bahwa khalifah merupakan hak bersama sesama muslim dan bukan
dominasi bangsa tertentu (Hindia Baroe, 9 Februari 1926).
Oleh
karenanja, maka Chilafat itoe adalah satoe perkara jang ta’boleh tidak mesti
pada kaoem Moeslimin., boekan sadja dari karena hal itoe dinjatakan perloenja
oleh perkataan-perkataannja Qor’an jan Soetji, tetapi djoega dari karena sabda
Allah telah menjeboetkan, bahwa kelembekannja Chilafat ada berarti
kelembekannja Igama Islam dan hal jang demikian itoe ada satoe tanda jang
terang menoendjoekkan tidak amannja kaoem Moeslimin di doenia [sebab]…...bahwa
barang siap beroesaha melembekkan Chilafat Moeslim, maka ialah sebenar-benarnja
bermaksoed melembekkan Islam…..dengan tjelakanja Chilafat, maka tiadalah orang
Moeslim bisa merasa dirinja aman, itoepoen kalau ia pertjaja kepada
kebenarannja perkataan-perkataan dalam Qor’an (Bendera Islam, 27 Juli
1925).
Mengutip pernyataan Prof Vaswani dalam The
Spirit and Struggle of Islam yang tulisannya dimuat secara bersambung di
Bandera Islam, dikatakan bahwa perkara khilafah itu teramat penting
dibandingkan perkara lainnya (Bandera Islam 22 Janurai 1925). Sebagaimana telah
dijelaskan, artikel yang ditulis redaktur Bandera Islam yang notabene aktivis
Sarekat Islam menyatakan bahwa:
Meski perkoempoelan Islam dalam masa ini
toemboehnja sebagai jamoer, tetapi beloem lagi masing-masing maoe bergandengan
tangan, sebaliknja dengan adanja Congres Al-Islam dan berhoeboengan dengan
adanja kepentingan dalam dunia Islam tentang oeroesan khalifah moelai berbesar hati bisa memboektikan segenap oemmat Islam
soedah juga ada itoe perasaan boeat mementingkan itoe keperloean (Hindia
Baroe, 9 Februari 1926).
Akan
tetapi, kira-kira sebulan sesudah kongres di Surabaya itu, diperoleh kabar dari
Kairo, bahwa kongres Islam Sedunia itu ditunda karena adanya perang di Jazirah
Arab; sedangkan Mesir sangat sibuk pula
dengan pemilihan umumnya. Lantaran itu,
maka kongres terpaksa diundurkan ke lain tahun. Dalam pada itu di tahun 1924
pula, seorang pemimpin Islam baru yang bernama Ibnu Saud mulai melangkahkan
kakinya merebut tanah Hijaz dari penguasa sebelumnya Syarif Hussein. Satu
persatu kota-kota di wilayah itu dapat dirampasnya. Ditahun 1925 boleh
dikatakan ibnu Saud berhasil mempersatukan Jazirah Arab dibawah satu kekuasan.
Syarif Hussein sendiri terpaksa meninggalkan tanah Hijaz dan memilih tempat
pengasingannya yang baru di Pulau Cyprus. Dia digantikan oleh putranya Syarif
Ali. Namun raja ini tidak dapat lagi mempertahankan kejatuhan kerajaannya.
Pertahanan yang terakhir adalah pelabuhan Jedah. Jedah dikepung oleh seterunya
lebih dari setahun. Akhirnya Raja Ali terpaksa mengaku kalah dan menerima
syarat-syarat perdamaian, lalu memilih kota Baghdad menjadi tempatnya yang baru
dibawah perlindungan adiknya Faisal Raja Irak. Sebelum Jedah jatuh ke tangannya
ibnu Saud telah mengundang pula para pemikir dan pemimpin pergerakan Islam
supaya datang menghadiri kongres yang akan diadakan ditanah Makkah untuk
menentukan kedudukan tanah Hijaz yang telah jatuh ke bawah kekuasaannya (Hamka,
1950:93). Bersamaan dengan undangannya itu, ulama-ulama al-Azhar melanjutkan
kongres yang teragenda dahulu, akan membicarakan soal khilafah.
Undangan dari Ibnu Saud kepada kaum
muslimin di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makkah selanjutnya
dibicarakan di kongres Al-Islam Keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan
di kongres Al-Islam Kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini
didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi
pembaharu diadakan di Cianjur pada tanggal 8-10 Januari 1926 telah memutuskan
untuk mengirim Tjokroaminoto dan Sarekat Islam dan Kyai Haji Mas Mansur dari
Muhammadiyah ke Makkah untuk mengikuti kongres, sehingga kongres di Bandung itu
hanya memperkuat keputusan rapat di Cinajur (Hindia Baroe, 8 dan 12
Februari 1926).
Pada tanggal 6-7 Februari 1926 di
Bandung diadakan Kongres Luar Biasa Al-Islam.
Hindia Baroe edisi 12 Februari 1926 menyatakan bahwa utusan perserikatan
Islam yang hadir berjumlah 234 dari keseluruhan suara yang berjumlah 255
organisasi; 21 organisasi dengan pengiriman kawat telegram yang berasal dari
Jawa, Borneo (Kalimantan) dan Selebes (Sulawesi). Pihak pers yang meliput kegiatan ini
berasal dari Soeara Perdamaian, Sri Djojobojo, Bendera Islam, Ind.
Telegraaf, Kaoem Moeda, Pait, Zaman Baroe, Preanger Bode, Al-Achkaf, Hindia
Baroe, Alpena, Si Petahoenan, Het Licht, Sin Bin, dan Bintang Islam.
Sedangkan pihak Pemerintah Hindia Belanda diwakili pejabat Kantor Urusan
Pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken), Komisaris Polisi dan
bawahannya. Massa yang menghadirinya kira-kira 1500 orang pada hari pertama
kongres dan 2500 orang di hari kedua. Dalam kongres itu, Tjokroaminoto
mengatakan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alihi wa sallam,
tidak sesaat pun ummat Islam ragu-ragu tentang wajibnya mengangkat seorang
khalifah sebagai pengganti Nabi dalam
kepemimpinan. Hampir selama 1300 tahun lamanja kekhalifahan senantiasa hadir
memimpin ummat Islam dengan sedikitnya menguasai Jazirah Arab. Dengan
menganalogikan ummat Islam sebagai sebuah badan, ia menyatakan jika ummat Islam
tidak memiliki khalifah “seolah-olah badan tidak berkepala” (Hindia Baroe,
15 Januari 1926).
Tjokroaminoto dalam sambutan
kongres menjelaskan bahwa jika tidak ada khalifah, ruh Islam tidak akan bisa
hidup. Hal tersebut ditampakkan pada sejarah sepeninggal Nabi Muhammad SAW,
sepeninggal sahabat-sahabatnya, gelar khalifah yang terus diwarisakan kepada
ummat Islam selanjutnya mampu mengatur
ummat Islam dan menghidupkan Islam. Selanjutnya ia menegaskan bahwa
jabatan khalifah ini hendaknya melalui musyawarah. Ia mengomentari kasus yang
menimpa Syarif Hussein dan anaknya yang dengan sepihak mengklaim kekhalifahan
dan mengakui bahwa Hijaz dan sekitarnya menjadi hak mereka. Padahal
kenyataannya tempat itu hak dan milik ummat Islam sedunia. Berlandaskan ide
ini, ia mendukung Ibnu Saud, seteru Syarif Hussein, dalam penguasaan Hijaz
karena berinisiatif mengadakan musyawarah untuk mengatur dua kota suci
Makkah-Madinah. Lebih-lebih, Ibnu Saud mengidentifikasikan dirinya bukan
sebagai pengikut Wahabi, bukan sebagai raja kepada rakyatnya dan bukan sebagai
imam kepada ma’mumnya. Akan tetapi, ia mengumpulkan segenap ummat Islam sedunia
sebagai muslim biasa (Hindia Baroe, 9 Februari 1926).
Akhirnya diutuslah
delegasi ke Makkah. Utusan Kongres Al-Islam adalah Tjokroaminoto dan tokoh
Muhammadiyah Kyai Haji Mas Mansur. Ikut juga H.M. Sujak sebagai pemimpin “Haji
Organisasi Hindia”. Mereka berangkat hari senin tanggal 2 Maret 1926. Bertolak
menuju Makkah dengan menggunakan Kapal Rondo. Surat Kabar Zaman Baroe
edisi 16 Maret 1926 memberitakan pemberangkatan ini. Surat kabar ini menggambarkan
bahwa di Kampung Baru, Surabaya, tempat kediaman Haji Mas Mansur sejak jam
delapan pagi dipenuhi orang yang hendak mengantar kedua utusan. Tepat jam
setengah sembilan pagi, diiringi dengan keluarga utusan mereka berangkat ke
Pelabuhan Tanjung Perak dengan menggunakan auto (mobil) yang dihiasi dengan
beberapa bunga-bunga dan bendera-bendera Islam dengan diiringi berpuluh-puluh
mobil pengantarnya. Di Pelabuhan, telah ada satu grup musik dari kepanduan
Hizbul Wathan, dan secara berbaris dengan membawa bendera Islam yang
dikibarkan, trompet dan tambourin dibunyikan oleh Kepanduan Muhammadiyah dan
Al-Irsyad. Ribuan orang diantara massa yang diantaranya terdapat orang pengurus
Muhammadiyah.
KESIMPULAN
Munculnya pemikiran Pan-Islamisme di
Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara umat Islam Indonesia dan
Timur Tengah. Hubungan tersebut mula-mula dilakukan dalam rangka melaksanakan
ibadah haji. Kira-kira sejak abad ke-17, kegiatan tersebut mengalami
perkembangan. Sebagian jama’ah haji
memutuskan untuk menetap di kota suci guna memperdalam ilmu-ilmu agama
Islam. Di kota suci, para penuntut ilmu dan para ulama asal Indonesia
berinteraksi dengan komunitas internasional dunia Islam, yang berpengaruh pada
lahirnya rasa kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan antar sesama muslim.
Perasaan-perasaan ini semakin menguat ketika Kesultanan Turki Utsmani
mengembangkan pergerakan Pan- Islamismenya di Hindia Belanda.
Tanggapan Kongres Al-Islam Hindia terhadap
persoalan khilafah diperlihatkan dalam dua bentuk. Pertama, melibatkan diri
dalam pergerakan khilafah. Kedua, mengirimkan utusan ke Kongres Dunia Islam.
Keterlibatan Kongres Al-Islam Hindia dalam pergerakan khilafah dikomunikasikan
dan disosialisasikan dalam tiga kali penyelenggaraan Kongres Al-Islam Hindia
yang diadakan antara tahun 1924 dan 1926 di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung.
Para peserta kongres yang terdiri dari berbagai organisasi pergerakan
Islam memutuskan agar kekhalifahan
hendaknya dibentuk di Makkah. Delegasi
yang ditunjuk adalah Oemar Said Tjokroaminoto dan Kyai Haji Mas Mansur.
Dampak pergerakan khilafah terhadap
hubungan antar kalangan moderen dan tradisi pada permualaannya sangat positif,
karena pihak tradisi bisa menghadiri kembali Kongres Al-Islam Hindia di
Surabaya. Akan tetapi, setelah kalangan modern mendominasi persoalan pengiriman
utusan ke Makkah, mereka membentuk forum tandingan yang hendak langsung
mengutarakan usul-usul mereka kepada penguasa Hijaz yang notabene tidak disukai
karena berfaham Wahhabi. Untuk itu, mereka kemudian membentuk Komite Merembuk
Hijaz. Pada perkembangan selanjutnya, komite ini melembaga dalam sebuah
organisasi bernama Nahdlatul Ulama. Sementara itu, dampak bagi hubungan antara
Sarekat Islam dan Muhammadiyah diperlihatkan dengan adanya pertikaian yang
bersumber dari persoalan pribadi dan menurunnya peran Sarekat Islam dalam
memimpin pergerakan Islam Indonesia. Sementara di satu pihak, Muhammadiyah
mengalami perkembangan yang pesat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Algadri, Hamid. 1984. Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan
Melawan
Belanda.
Bandung : Mizan.
Amelz. 1952. HOS Tjokroaminoto
Hidup dan Perjuangannya. Jakarta : Bulan Bintang.
Anam, Choirul. 1985. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul
Ulama. Solo: Jatayu.
Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam. Jakarta: Wijaya.
Ar-Rais, Dhiya ad-Din. 1985. Islam dan Khilafah Kritik terhadap
Buku Khilafah dan Pemerintahan Islam 'Ali AbdurRaziq. Terj. Afif Muhammad.
Bandung : Pustaka.
Azra, Azyumardi.1996. Jaringan Ulama Timur Tengah. Bandung:
Mizan
__________..(ed.). 1989. Perspektif
Islam di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor.
Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam
Indonesia Pada Zaman Pendudukan Jepang.
Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta : Pustaka Jaya.
Dhofier, Zamakhsyari. 1996. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup
Kyai.Jakarta : LP3ES.
Gonggong, Anhar. 1985. H.O.S. Tjokroaminoto. Jakarta:
Depdikbud.
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia
Pendekatan Fikih dalam Politik.
Jakarta ; Gramedia.
Hamka. 1950. Ajahku . Jakarta : Djajamurni.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Jakarta: Balai Pustaka.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat
Islam Gerakan Ratu Adil ?. Jakarta : Graffiti Press.
Nasution, Harun. 1975. Pembaruan dalam Sejarah pemikiran dan
Gerakan Islam. Jakarta : Bulan
Bintang.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
Jakarta: : LP3ES.
Rais, Amin. 1996. Cakrawala Islam. Bandung:Mizan.
Ricklefs, M.C. 1993. Sejarah Indonesia Moderen. Terj. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rogers, Everett M. dan Floyd Schoemaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide
Baru. Terj. Drs. Abdullah Hanafi. Surabaya: Usaha Nasional.
Shiraishi, Takashi.1999. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Suminto, H. Aqib. 1996. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta :
LP3ES.
Tjokroaminoto, H.O.S. 1963. Islam dan Sosialisme. Jakarta:
Kerjasama Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Republik Indonesia.
B. Surat Kabar dan Majalah
Bendera Islam, 16 Oktober 1924.
____________, 30 Oktober 1924.
____________, 22 Januari 1925.
____________, 8 Februari 1925.
____________, 27 Juli 1925.
____________, 12 Oktober 1925.
____________, 28 Desember 1925.
Bintang Islam, 1927
Hamka. 1959. “Said Jamaluddin Al-Afghanl” dalam Panji Masyarakat.
Hindia Baroe, 7 Januari 1925
___________,9 Januari 1925
___________, 15 Januari 1926.
___________, 22 Januari 1926.
___________, 8 Februari 1926.
___________, 9 Februari 1926.
___________, 12 Februari 1926.
Rahardjo,
Dawam, "Ensiklopedi Al-Qur'an : Khalifah", Ulumul Qur’an No. 1
Vol, VI Th. 1995.
______________,”Islam
, Mendayung di antara Dua Karang: Sosialisme dan Kapitalisme”. Prisma
No. Ekstra 1984.
Ridwan, Ahmad Hasan “Pan Islamisme di
Indonesia: Kajian Atas Pemikiran Tjokroaminoto” dalam Al-Tadbir Vol.1, No.2, September 1999, Bandung: Pusat
Pengkajian Islam dan Pranata IAIN Sunan Gunung
Djati.
Soeara Moehammadiyah, Th.VII, 1927.
Zaman Baroe, 15 Januari 1926.
___________, 5 Mei 1926.
___________, 1
November 1926.
[1] Penulis adalah alumni Ilmu Sejarah Universitas
Padjadjaran Bandung. Guru Sejarah SMA Negeri 1 Ciruas. Ketua MGMP Sejarah SMA Kabupaten
Serang. Email: abdulsomad1976@gmail.com No HP 087771840660.
[2] Kesultan Aceh ini telah
membina hubungan dengan Utsmani sejak abad ke-16. Hubungan ini berlanjut terus
secara serius hingga Aceh berhadapan secara militer dengan kolonialis Belanda.
Catatan paling penting yang bisa dikemukakan disini adalah bahwa Sultan Aceh,
‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (berkuasa sejak 1537) ternyata mengakui Sultan
Turki, Sulaiman al-Qanuni (berkuasa,
1520-1566), sebagai khalifah Islam. Dalam kitab Bustanus Salatin yang
ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama sekaligus penasehat Sultan Aceh,
dilaporkan bahwa pada tahun 1565 delegasi Kesultanan Aceh yang bernama Husayn
telah diterima di Istambul untuk menyampaikan pemaklumatan (pembai’atan) Sultan
Aceh kepada Utsmaniyah (Azra, 1996:53). Pengakuan resmi ini menandakan bahwa
Kesultanan Aceh merupakan sebuah wilayah bawahan (vassal state)
Kesultanan Utsmani (Azra (1999:79).
[3]Benda menyatakan bahwa
diadakannya Kongres Al-Islam didasarkan pada keinginan mempertahankan
kepemimpinan Sarekat Islam didalam gerakan Islam umumnya. Hal ini tidak
disepakati Noer (1996: 143-144). Ia berpendapat bahwa peranan Sarekat Islam
sebagai suatu perkembangan yang wajar saja. Pertama, tidaklah dapat
diharapkan bahwa sebuah partai Islam hanya menjadi penonton dalam berbagai
problema yang menimpa ummat Islam. Kedua, Sarekat Islam tidak terlalu
intens untuk terlibat dalam masalah-masalah yang dipertikaikan antara pihak
pembaharu dan pihak tradisi, dibandingkan dengan orang-orang atau
organisasi-organisasi yang membatasi diri mereka pada bidang sosial dan
pendidikan. Ketiga Sarekat Islam masih mempunyai pengikut-pengikut yang
lebih banyak dari organisasi-organisasi Islam manapun juga pada waktu itu.
Partai itupun bersifat nasional dibandingkan organisasi Islam lainnya.
Pemimpin-pemimpinnya lebih banyak memiliki pengalaman dalam masala-masalah
organisasi. Bahkan yang terpenting adalah bahwa Sarekat Islam dianggap sebagai
satu-satunya partai bagi semua orang Islam, baik pembaharu maupun golongan
tradisi.
[4] Fardhu adalah
ketentuan hukum syari’at Islam (syara’) yang pasti (jaazim) dan berdosa jika tidak dilaksanakan. Jika dipadukan dengan
kata kifayah, maka hukum yang
dibebankann berlaku kolektif, artinya, apabila telah ada seseorang atau
sekelompok orang yang melakukannya maka gugurlah keajiban itu, begitu
sebaliknya. Dalam kasus pengangkatan khalifah, pembebanannya lebih dituju
kepada tokoh masyarakat (ahlul halli wal
aqdi) yang dianggap berpengaruh dan sanggup bertanggung jawab mewakili
mereka.
[5] Secara historis, nama besar
khalifah memang telah lama memiliki “daya magis” tersendiri dikalangan orang
Indonesia. Dalam upaya meningkatkan legitimasi dan aura kekuasaannya, sebagai
jalan lain dalam pengakuan kepada kekhalifahan, para penguasa Islam tidak hanya
menggunakan gelar sultan, tetapi juga mengklaim diri sebagai khalifatullah,
khalifah Allah atau “wakil Tuhan”. Kitab undang-undang Melaka menyebutkannya
sebagai “khalifat al-mu’minin, zhill Allah fil ardh”, artinya khalifah
kaum muslimin, bayangan Tuhan di muka bumi. Perihal yang sama dilakukan juga di
Aceh. Mengikuti tradisi ulama sunni dalam memberikan legitimasi kepada penguasa
politik, Nuruddin ar-Raniri, menyebut para penguasa Aceh sebagai zhill Allah
fi ‘alam, bayangan Allah di dunia (Azra,
1999:80).
[6] Maraknya dukungan nyata
ummat Islam terhadap pembentukan khilafah ini bisa terbaca dari sebuah cuplikan
berita yang dilaporkan Bendera Islam edisi 11 Deesember 1924. Di Cianjur
diberitakan tentang adanya pengumpulan masa yang dimaksudkan untuk memutuskan
kesepakatan membantu pergerakan khilafah di Surabaya. Rapat akbar yang
diselenggarakan pada tanggal 30 November 1924 itu dihadiri kurang lebih 3000
orang, yang diantaranya terdapat wakil-wakil organisasi pergerakan yang berada
di Cianjur yaitu Sarekat Islam Cianjur, perhimpunan Ianah, Mu’awanah, dan
perhimpunan Musyawaratul Ulama Cinajur. Selain itu hadir pula utusan dari
Sarekat Islam Sukabumi. Rapat itu dipimpin oleh Siswo, seorang tokoh Sarekat
Islam Cianjur. Setelah berlangsung pembicaraan yang membahas perihal
kepentingan khilafah, kemudian diputuskan bahwa mereka akan membantu pergerakan
khilafah di Surabaya dan hendak mengirimkan utusan untuk menghadiri persidangan
Luar Biasa Kongres Al-Islam di Surabaya dengan mengatasnamakan cabang Komite Khilafah
Cianjur.
0 Komentar