A Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konflik Antara Indonesia dengan Belanda
Faktor-faktor
apakah yang menyebabkan konflik Indonesia-Belanda Bagaimana peran dunia
internasional dalam menyelesaikan konflik tersebut? Apa pengaruh konflik
tersebut terhadap keberadaan NKRI? Dan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan sehingga Belanda keluar dari Indonesia? Hal
ini akan kita pelajari dalam bab ini agar kita mampu meneladani kebulatan tekad
para pahlawan kita. Perjuangan bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan
hari demi hari semakin nyata hasilnya. Akan tetapi tantangan yang dihadapi
selalu silih berganti. Seperti telah kita ketahui bahwa Proklamasi Kemerdekaan
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 18
Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan dipilih Ir. Soekarno
sebagai Presiden sedangkan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Perjuangan
bangsa Indonesia selanjutnya semakin berat karena harus mempertahankan
kemerdekaan dari rongrongan kekuasaan bangsa asing.
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan
Belanda sebagai berikut.
1.
Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA Semenjak
Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 secara hukum tidak
lagi berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala
Tentara Kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan
kepada Sekutu dan tidak kepada pihak Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945
Mayor Greenhalgh datang di Jakarta. la merupakan perwira Sekutu yang pertama
kali datang ke Indonesia. Tugas Greenhalgh adalah mempelajari dan melaporkan keadaan
di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu. Pada tanggal 29 September
1945 pasukan Sekutu mendarat di Indonesia antara lain bertugas melucuti tentara
Jepang. Tugas ini dilaksanakan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang
bernama South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten
yang berpusat di Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk
suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherland East Indies
(AFNEI) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Adapun
tugas AFNEI di Indonesia adalah :
1. menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang;
2. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;
3. melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan;
4. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil; dan
5. menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.
1. menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang;
2. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;
3. melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan;
4. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil; dan
5. menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.
Pasukan
AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 yang terdiri
dari tiga divisi yaitu :
1. Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk daerah Jawa Barat;
2. Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas untuk daerah Jawa Timur;
3. Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk daerah Sumatra.
1. Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk daerah Jawa Barat;
2. Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas untuk daerah Jawa Timur;
3. Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk daerah Sumatra.
Pasukan-pasukan
AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan untuk daerah Indonesia
lainnya diserahkan tugasnya kepada angkatan perang Australia. Pada mulanya
kedatangan Sekutu disambut dengan senang hati oleh bangsa Indonesia. Hal ini
karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa
Sekutu secara diam-diam membawa orang-orang Netherland Indies Civil
Administration (NICA), yakni pegawai-pegawai sipil Belanda maka bangsa
Indonesia curiga dan akhirnya menimbulkan permusuhan.
2. Kedatangan Belanda (NICA) Berupaya untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya di Indonesia
NICA
berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger,
yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA
dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga
memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk
kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Oleh
karena itu diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI. Christison mengakui
pemerintahan de facto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak
akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraaan Indonesia. Dalam
kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati
kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap
pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa
kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali
kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan
cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan
menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini akhirnya
melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
B Peran Dunia Internasional dalam Penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda
Masuknya
kembali Belanda ke Indonesia dengan membonceng Sekutu ternyata berakibat
konflik yang berkepanjangan antara Indonesia dengan Belanda. Untuk itu bangsa
Indonesia berjuang dengan cara diplomasi maupun kekuatan senjata. Pada tanggal
25 Maret 1947 Indonesia dan Belanda menandatangani Persetujuan Linggajati.
Meskipun persetujuan Linggajati ditandatangani, namun hubungan antara
Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Belanda melakukan pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati maupun perjanjian gencatan yang diadakan sebelumnya dengan melancarkan agresi militer terhadap pemerintahan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Kota-kota di Sumatera maupun Jawa digempur dengan pasukan bersenjata lengkap dan modern. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya (Malaysia) kepada Indonesia ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta. Gugur dalam peristiwa ini di antaranya Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh. Bagaimana reaksi dunia luar terhadap tindakan Belanda yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Indonesia tersebut? Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain. Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan. Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata.
Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Belanda melakukan pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati maupun perjanjian gencatan yang diadakan sebelumnya dengan melancarkan agresi militer terhadap pemerintahan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Kota-kota di Sumatera maupun Jawa digempur dengan pasukan bersenjata lengkap dan modern. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya (Malaysia) kepada Indonesia ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta. Gugur dalam peristiwa ini di antaranya Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh. Bagaimana reaksi dunia luar terhadap tindakan Belanda yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Indonesia tersebut? Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain. Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan. Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata.
Usul
di atas didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia,
dan Suriah tetapi diveto Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan
Indonesia. Pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerima usul
Amerika Serikat tentang pembentukan Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good
Offices) untuk membantu menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Komisi
inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas :
a. Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia,
b. Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda,
c. Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan Australia dan Belgia.
a. Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia,
b. Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda,
c. Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan Australia dan Belgia.
Pada
tanggal 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya. Dalam
melaksanakan tugasnya, KTN mengalami kesulitan karena Indonesia maupun Belanda
tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil
mempertemukan Indonesia-Belanda dalam suatu perundingan yang berlangsung pada
tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat “Renville” yang
berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan perundingan Renville.
Akibat dari perundingan Renville wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan
daerah-daerah yang kaya karena diduduki Belanda.
2. Peranan Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Aksi
militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap Republik Indonesia menimbulkan
reaksi dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat tidak setuju dengan tindakan
Belanda itu, tetapi ragu-ragu turun tangan. Di antara negara yang tampil
mendukung Indonesia adalah Autralia dan India. Australia mendukung Indonesia
karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan dunia sesuai dengan piagam PBB.
Di samping itu Partai Buruh Australia yang sedang berkuasa sangat simpatik
terhadap perjuangan kemerdekaan. Sedangkan India mendukung Indonesia karena
solidaritas sama-sama bangsa Asia juga senasib karena sebagai bangsa yang
menentang penjajahan. Hubungan Indonesia dengan India terjalin baik terbukti
pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi sebanyak 500.000 ton untuk
disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya kelaparan. Sebaliknya
India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian, dan mobil. Pada waktu
Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada tanggal 19 Desember
1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Birma
(Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia. Konferensi ini
diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri
oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma (Myanmar), Sri
Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi
Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari
negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil dari
Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr. Surdarsono,
H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Konferensi Asia tersebut
menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Isi
resolusinya antara lain sebagai berikut.
a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
d. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
d. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Dengan
adanya dukungan dari negara-negara di Asia, Afrika, Arab, dan Australia
terhadap Indonesia, maka pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi yang disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai
berikut.
a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas.
c. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas.
c. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
Resolusi
itu dirasa oleh bangsa Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa Dewan
Keamanan PBB tidak mendesak Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI selain
Yogyakarta. Di samping itu Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas
pelanggaran terhadap resolusinya. Akan tetapi, bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang cinta damai maka selalu menaati semua isi resolusi sepanjang sesuai dengan
prinsip Indonesia Merdeka dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.
C Pengaruh Konflik Indonesia-Belanda terhadap Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pengaruh
Konflik Indonesia-Belanda terhadap Keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
1. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada Waktu Agresi Militer Belanda Pertama
Persetujuan
Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 antara
Indonesia-Belanda sebagai upaya mengatasi konflik melalui jalur diplomasi. Akan
tetapi, Belanda mengingkari perundingan ini dengan jalan melakukan agresi militer
pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Tujuan Belanda tidak dapat melakukannya
sekaligus, oleh karena itu untuk tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran
sebagai berikut.
- Bidang Politik : Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI).
- Bidang Ekonomi: perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera serta pertambangan dan perkebunan di Sumatera)
- Bidang Militer: Penghancuran TNI.
- Bidang Politik : Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI).
- Bidang Ekonomi: perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera serta pertambangan dan perkebunan di Sumatera)
- Bidang Militer: Penghancuran TNI.
Jika
tahap pertama ini dapat berhasil maka tahap berikutnya adalah meng-hancurkan RI
secara total. Ibu kota RI pada waktu itu terkepung sehingga hubungan ke luar
sulit dan ekonomi RI mengalami kesulitan karena daerah-daerah penghasil beras
jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi untuk menghancurkan TNI mengalami
kesulitan sebab TNI menggunakan siasat perang rakyat semesta dengan bergerilya
dan bertahan di desa-desa. Dengan demikian Belanda hanya menguasai dan bergerak
di kota-kota besar dan jalan-jalan raya, sedangkan di luar itu masih dikuasai
TNI.
Dalam
Agresi Militer pertama ini walaupun Belanda berhasil menduduki beberapa daerah
kekuasaan RI akan tetapi secara politis Republik Indonesia naik kedudukannya di
mata dunia. Negara-negara lain merasa simpati seperti Liga Arab yang sejak 18
November 1946 mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi yang semula
ragu-ragu mengakui kemerdekaan Indonesia kemudian mengakui pula. Agresi militer
Belanda terhadap Indonesia mengakibatkan permusuhan negara-negara Arab terhadap
Belanda dan menjadi simpati terhadap Indonesia. Dengan demikian dapat
menguatkan kedudukan RI terutama di kawasan penting secara politik yaitu Timur
Tengah. Dengan adanya agresi militer pertama maka Dewan Keamanan PBB ikut
campur tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara. Melalui serangkaian
perundingan yakni Perundingan Renville dan Perundingan Kaliurang merupakan
upaya untuk mengatasi konflik. Sebagai negara yang cinta damai Indonesia
bersedia berunding, namun Belanda menjawab lagi dengan kekerasan yakni
melakukan agresinya yang kedua.
2. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pada
Waktu Agresi Militer Belanda Kedua Pada tanggal18 Desember 1948, pukul 23.30,
Dr. Beel mengumumkan sudah tidak terikat lagi dengan Perundingan Renville. Pada
tanggal 19 Desember 1948, pukul 06.00, Belanda melancarkan agresinya yang kedua
dengan menggempur ibu kota RI, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini
pimpinan-pimpinan RI ditawan oleh Belanda. Mereka adalah Presiden Soekarno,
Wakil Presiden Moh. Hatta, Syahrir (Penasihat Presiden) dan sejumlah menteri
termasuk Menteri Luar Negeri Agus Salim. Presiden Soekarno diterbangkan ke
Prapat di tepi Danau Toba dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Bangka. Presiden
Soekarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Dengan ditawannya pimpinan-pimpinan
negara RI dan jatuhnya Yogyakarta, Dr. Beel menyatakan bahwa Republik Indonesia
tidak ada lagi. Belanda mengira bahwa dari segi militer aksi itu berhasil
dengan gemilang. Belanda menyatakan demikian karena akan membentuk Pemerintah
Federal. Sementara tanpa keikutsertaan Republik Indonesia. Padahal Republik
Indonesia tetap ada dengan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Sebab sebelum pasukan-pasukan Belanda tiba, pemerintah RI mengirimkan telegram
kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berkunjung ke
Sumatera untuk mendirikan Pemerintah Darurat RI (PDRI). Seandainya
Syafruddin tidak dapat menjalankan tugas, maka Presiden Soekarno menugaskan
kepada Dr. Sudarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis yang sedang di New Delhi
untuk membentuk Pemerintah Pelarian (Exile Government) di India. Pada tanggal
19 Desember 1948 Syafruddin Prawiranegara berhasil mendirikan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera. Sementara itu
sampai dengan Januari 1949, Belanda menambah pasukannya ke daerah RI untuk
menunjukkan bahwa mereka berkuasa. Akan tetapi kenyataannya Belanda hanya
menguasai di kota-kota dan jalan raya dan Pemerintahan RI masih berlangsung
sampai di desa-desa. Rakyat dan TNI bersatu berjuang melawan Belanda dengan
siasat perang gerilya. TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman menyusun
kekuatan yang kemudian melancarkan serangan terhadap Belanda. Alat-alat
perhubungan seperti kawat-kawat telepon diputuskan, jalan-jalan kereta api di
rusak, jembatan: dihancurkan agar tidak dapat digunakan Belanda. Jenderal
Sudirman walaupun dalam keadaan sakit masih memimpin perjuangan dengan
bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan menjelajahi daerah-daerah
pedesaan, naik gunung turun gunung. Route perjalanan yang ditempuh dari
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri. Perhatikan route gerilya Panglima
Besar Jenderal Sudirman berikut ini!Pada tanggal 23 Desember 1948 Pemerintah
Darurat RI di Sumatera mengirimkan perintah Kepada wakil RI di PBB lewat radio
yang isinya bahwa pemerintah RI bersedia memerintahkan penghentian tembak
menembak dan memasuki meja perundingan. Ketika Belanda tidak mengindahkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 tentang penghentian tembak
menembak dan mereka yakin bahwa R1 tinggal namanya, dilancarkanlah Serangan
Umum 1 Maret 1949 sebagai bukti bahwa RI masih ada dan TNI masih kuat. Dalam
serangan ini pihak RI berhasil memukul mundur kedudukan Belanda di Yogyakarta
selama 6 jam. Dengan kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa pada waktu
konflik Indonesia-Belanda maka Negara Kesatuan RI tetap ada walaupun pihak
Belanda menganggap RI sudah tidak ada.
D Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Salah
satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda
ingin menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia temyata selalu mendapat perlawanan
dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan
antara pemimpin Indonesia dengan Belanda melalui
1. Pertemuan Soekarno-Van Mook
Pertemuan
antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang
lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945.
Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad
Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van
Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi
kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan
kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan
hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook
mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa
Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan
Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan
memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van
Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan
Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(Indonesia).
2.
Pertemuan Sjahrir-Van MookPertemuan ini dilaksanakan pada
tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta (
Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu diwakili oleh Letnan
Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan delegasi
Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebagai
pemrakarsa pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan pihak Indonesia
dan Belanda di samping menjelaskan maksud kedatangan tentara Sekutu, akan
tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
3. Perundingan Sjahrir - Van MookPertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.
Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan
Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali
pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang
diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada
tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu
Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai
berikut.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya
pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara
lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul
dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya
Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai
wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal
dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir
mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
Perundingan
ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah
disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan
yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
Walaupun
Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya
bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia
memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah
Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian
Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof
Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan
wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang
berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam
perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya
dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil
kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
(l). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
(l). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam
mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda
diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10
November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin
oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van
Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan
anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah
sebagai berikut.
(1)
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan
daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun
isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia
dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional
kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.
6. Perundingan Renville
Perbedaan
penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan
antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini
dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan
Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang
memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat
dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia
menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena
persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti
belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan
bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara
akan dimenangkan pihak Indonesia.
7. Persetujuan Roem-Royen
Ketika
Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia
berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan
pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18
Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville
dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah
satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara
wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg)
atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali
yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2
Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini
ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan
tanpa ikatanikatan politik ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2
November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai
ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin
oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan
delegasi Be1anda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator
dipimpin oleh Chritchley.
Pada
tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari
persetujuan KMB adalah sebagai berikut.
1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari
hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949
diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak
Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees,
Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani
naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini
maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni
Republik Indonesia Serikat (RIS).
E Perjuangan Rakyat dan Pemerintah di Berbagai Daerah dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Kehadiran
pasukan Sekutu yang membawa orang-orang NICA pada tanggal 29 September 1945
sangat mencemaskan rakyat dan pemerintah RI. Keadaan ini semakin memanas ketika
NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan
Jepang. Para pejabat Republik Indonesia yang menerima kedatangan pasukan ini
karena menghormati tugas. Mereka menjadi sasaran teror dan percobaan
pembunuhan. Oleh karena itu sikap pasukan Sekutu yang tidak menghormati
kedaulatan negara dan bangsa Indonesia ini dihadapi dengan kekuatan senjata,
oleh rakyat dan pemerintah. Di beberapa daerah muncul perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan sebagai berikut.
Pada
tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S.
Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigade ini merupakan
bagian dari Divisi India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka
mendapat tugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu.
Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan
orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah
berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan
Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian
antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan
yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1). Inggris berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2). Disetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3). Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4). Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.
1). Inggris berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2). Disetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3). Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4). Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.
Pada
tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda
di antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran
pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata
mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi
Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata mereka. Kontak senjata antara
rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para
pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil
menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah
dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian
melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang
gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober
1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam
perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk
menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak Sekutu. Dalam
salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby,
pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal
9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan
ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu isinya agar
seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan
senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas kepala
berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan maka
Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum ini
dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh
karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui
pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah
pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan
dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya.
Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di
bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri sebanyak
10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah
“Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam
pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik
dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR
laut di bawah Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung
sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota
Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak
Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia
memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan
di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.
2. Pertempuran Ambarawa
Kedatangan
Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir lenderal
Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan
perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai
para bekas tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di
Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945
Presiden Soekarno dan Brig.Jend. Bethel mengadakan perundingan gencatan
senjata.
Pada
tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa.
Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel
M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan Muda di bawah
Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh
dan Surakarta menghadang Sekutu di desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa
ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya
Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang oleh Kolonel Soedirman,
Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman mengkoordinir
komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang
bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa.
Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa terjepit maka pada
tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke
Semarang.
3. Pertempuran Medan Area dan Sekitarnya Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat.
Achmad
Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR
Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur
terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18
Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda
Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu
dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan.
Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang
dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu
melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan
pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak
pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke
Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat
Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar Rakyat Medan Area.
Selain
di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat
terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran
berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di
Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu
memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga
pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen.
Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak
rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini
pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera
rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
F Kronologi Berbagai Peristiwa Penting Baik di Tingkat Pusat Maupun Daerah dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia terjadilah peristiwa-peristiwa baik di tingkat pusat maupun daerah. Peristiwa-peristiwa tersebut di antaranya Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, Peristiwa Westerling di Makassar, dan Serangan umum 1 Maret 1949.
1. Bandung Lautan Api
Pada
tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pada waktu itu para
pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan
kekuasaan dari tangan Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara
Jepang supaya diserahkan kepadanya. Bahkan pada tanggal 21 November 1945, Sekutu
mengeluarkan ultimatum agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak
Indonesia paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga
keamanan. Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan sehingga sejak
saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu.
Sekutu
mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1946 yakni agar TRI meninggalkan
kota Bandung. Dengan adanya ultimatum ini, pemerintah Republik Indonesia di
Jakarta menginstruksikan agar TRI mengosongkan kota Bandung, akan tetapi dari
markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar kota Bandung tidak dikosongkan.
Akhirnya, para pejuang Bandung meninggalkan kota Bandung walaupun dengan berat
hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung terlebih dahulu para pejuang Republik
Indonesia menyerang ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan
kota Bandung bagian Selatan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bandung
Lautan Api.
2. Puputan Margarana
Salah
satu isi perundingan Linggajati pada tanggal l0 November 1946 adalah bahwa
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda harus sudah
meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal
2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di
Bali, ikut pula tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Pada waktu itu Letnan Kolonel
I Gusti Ngurah Rai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta
untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI. Sementara itu
perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang
menguntungkan akibat perundingan Linggajati di mana Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi
perundingan ini. Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak
dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan
bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memperoleh
kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Kemudian Belanda
mengerahkan seluruh kekuatan di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan
rakyat Bali ini. Pertempuran hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di
Margarana, sebelah utara Tabanan. Karena kalah dalam persenjataan maka pasukan
Ngurah Rai dapat dikalahkan. I Gusti Ngurai Rai mengobarkan perang “Puputan”
atau habis-habisan demi membela Nusa dan Bangsa. Akhirnya I Gusti Ngurai Rai bersama
anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa.
3.
Peristiwa Westerling di Makassar Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan
yang diangkat tahun 1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie melakukan aktivitasnya dengan
membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi yang bertujuan
untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah dipimpin oleh Manai Sophian.
Sementara itu pada bulan Desember 1946 Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi
Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling. Kedatangan pasukan ini untuk
“membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang Republik dan
menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan Negara Indonesia
Timur. Di daerah ini pula, pasukan Australia yang diboncengi NICA mendarat
kemudian membentuk pemerintahan sipil. di Makassar karena Belanda melakukan
usaha memecah belah rakyat maka tampillah pemuda-pemuda pelajar seperti A.
Rivai, Paersi, dan Robert Wolter Monginsidi melakukan perlawanan dengan merebut
tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya untuk menggerakkan
perjuangan dibentuklah Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan
tokohtokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Djarung, dan Robert Wolter
Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderalnya. Sejak tanggal 7 - 25 Desember 1946
pasukan Westerling secara keji membunuh beribu-ribu rakyat yang tidak berdosa.
Pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang
dan hukum militer. Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan
massal di desa-desa yang mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa
menjadi korban kebiadaban. Bagaimanakah pendapat kamu tentang tindakan Raymond
Westerling tersebut?
4. Serangan Umum 1 Maret 1949
Ketika
Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada bulan Desember 1948 ibu
kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta beserta sejumlah menteri ditawan oleh Belanda. Belanda
menyatakan bahwa RI telah runtuh. Namun di luar perhitungan Belanda pada saat
yang krisis ini terbentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Buktitinggi, Sumatera Barat. Di samping itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX
sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI sehingga
masyarakat Yogyakarta juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI di bawah
Jenderal Sudirman yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua komandan
TNI melalui surat Perintah Siasat No.1 bulan November 1948 isinya antara lain:
(1) memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda;
(2) memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise); dan
(3) memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta. Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat yakni Brigade 10 di bawah Letkol Soeharto.
(1) memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda;
(2) memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise); dan
(3) memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta. Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat yakni Brigade 10 di bawah Letkol Soeharto.
Dengan
adanya agresi Militer Belanda maka dalam beberapa minggu kesatuan TNI dan
kekuatan bersenjata lainnya terpencar-pencar dan tidak terkoordinasi. Namun
para pejuang mampu melakukan komunikasi melalui jaringan radio, telegram maupun
para kurir. Bersamaan dengan upaya konsolidasi di bawah PDRI, TNI melakukan
serangan secara besar-besaran terhadap posisi Belanda di Yogyakarta. Serangan
ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelum
serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta persetujuan kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan Umum ini
dilakukan dengan mengkonsentrasikan pasukan dari sektor Barat (Mayor Ventje
Samual), Selatan dan Timur (Mayor Sarjono) dan Sektor Kota (Letnan Amir Murtono
dan Letnan Masduki). Serangan umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para
pejuang dapat menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam
12.00. Berita Serangan Umum ini disiarkan RRI yang sedang bergerilya di daerah
Gunung Kidul, yang dapat ditangkap RRI di Sumatera, selanjutnya dari Sumatera
berita itu disiarkan ke Yangoon dan India. Keesokan harinya peristiwa itu juga
dilaporkan oleh R. Sumardi ke PDRI di Buktitinggi melalui radiogram dan juga
disampaikan pula kepada Maramis. (diplomat RI di New Delhi, India) dan L.N.
Palar (Diplomat RI di New York, Amerika Serikat). Serangan Umum 6 Jam di
Yogyakarta ini mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut. Ke dalam : -
Meningkatkan semangat para pejuang RI, dan juga secara tidak
langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO. - Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni Serangan Umum ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat yang semula mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda agar melakukan perundingan dengan RI. Ke luar - Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan; dan - Mematahkan moral pasukan Belanda.
langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO. - Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni Serangan Umum ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat yang semula mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda agar melakukan perundingan dengan RI. Ke luar - Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan; dan - Mematahkan moral pasukan Belanda.
Ketika
Belanda melakukan agresi militemya yang kedua, tanggal 19 Desember 1948, Dewan
Keamanan PBB merasa tersinggung karena tindakan Belanda tersebut telah
melanggar persetujuan gencatan senjata yang telah diprakasai oleh Komisi Tiga
Negara (KTN). Di dalam negeri Indonesia pun Belanda tidak memperoleh dukungan
politik bahkan para pejuang melakukan gerilya maupun serangan umum. Menghadapi
kondisi yang demikian ini maka Belanda mengubah sikapnya yakni sepakat
dilakukan gencatan senjata. Penghentian tembak menembak akan mulai berlaku di
Jawa tanggal 11 Agustus 1949, dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus 1949.
Pada masa gencatan senjata itulah berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den
Haag pada tanggal 23 Agustus 1949. Dalam konferensi ini hasil utamanya antara
lain bahwa Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada
akhir bulan Desember 1949. dengan demikian hal ini memaksa Belanda harus keluar
dari bumi Indonesia. Sebenarnya faktor-faktor apa saja yang memaksa Belanda
harus keluar dari Indonesia?
a. Faktor dari Dalam
1). Dari dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2). Perang yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya perkebunan dan pabrik-pabrik Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya.
3). Belanda tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri Indonesia. Ketika membujuk Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara di Jawa maka ditolaknya.
4). Para pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang gerilya dan serangan umum.
a. Faktor dari Dalam
1). Dari dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2). Perang yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya perkebunan dan pabrik-pabrik Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya.
3). Belanda tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri Indonesia. Ketika membujuk Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara di Jawa maka ditolaknya.
4). Para pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang gerilya dan serangan umum.
b.
Faktor dari Luar
PBB dan Amerika Serikat mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian Belanda. Dengan adanya faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang bermuara diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sehingga memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.
PBB dan Amerika Serikat mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian Belanda. Dengan adanya faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang bermuara diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sehingga memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.
0 Komentar